Judul skripsi ini adalah “aspek hukum pidana video mesum dikaitkan dengan
pornografi dan upaya penanganannya.” Pornografi didalam Undang-undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi, diartikan sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto,
tulisan, suara, bunyi, gambar. bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh,
atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang
melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Sesuai dengan pasal 29 UU
Pornografi, setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat enam bulan dan paling lama
12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta dan paling banyak Rp 6
miliar. Terjadinya kesalahan penafsiran norma dalam UU pornografi. Artinya, harus
dilakukan proses pemilahan secara jelas, yang mana unsur utama dan mana unsur
pendukung tindak pidana pornografi dalam kasus ketiga artis. Hal ini tergambar dalam
upaya penanganan kasus dengan mengutamakan pengungkapan identitas pemeran
video, dibanding pengungkapan pelaku penyebaran video. Sebagaimana maksud UU
Pornografi yang bersifat empiris, seharusnya norma utama yang menjadi tugas dalam
penanganan kasus ini adalah penyebaran video yang membuat tontonan pornografi
dapat diakses oleh publik. Dengan demikian, maka jelaslah bahwa keputusan
penetapan tersangka bagi keiga artis dengan menggunakan Pasal-pasal yang multitafsir,
tentu saja merupakan kesimpulan hukum yang menimbulkan ketidakpastian.
Artinya, terdapat definisi hukum yang absurd (kabur) yang tidak dapat dijadikan dasar
utama dalam penetapan status tersangka Ariel. Alasan utama penetapan Ariel adalah
jerata Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dimana disebutkan bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat,
memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang secara eksplisit memuat : persenggamaan, termasuk persenggamaan
yang menyimpang; kekerasan seksual; masturbasi atau onani; ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan; alat kelamin; atau pornografi anak.
Perlindungan hukum anak akibat pornografi harus diupayakan dengan sungguhsungguh
dan nyata, yaitu dengan membuat pengaturan dalam bentuk undang-undang
seperti Undang-undang No. 44 Tahun 2008 dan upaya penegakkannya karena dampak
negatif dari pornografi sangat luar biasa besarnya dan akan mempengaruhi moral
bangsa dimasa-masa yang akan datang. UU pornografi sudah menjadi norma hokum
tertulis, yang berlaku di Negara kita. Dengan demikian bagian penjelasan dalam UU
tersebut, tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Norma utama dan penjelasan dalam
UU ini merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Memisahkannya,
berarti sebuah kenaifan dalam memaknai sifat hukum tertulis kita.
Link download
Link download
0 comments:
Post a Comment