Skripsi: Meningkatkan Kemampuan Problem Solving Matematika Siswa Melalui Pendekatan Kontekstual
Bab 1-5 > Ok lengkap....
Bagi yang ingin pesan silahkan isi form pendaftaran/donasi.
Seiring berputarnya waktu, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin pesat. Perkembangan IPTEK yang demikian pesat itu, terkadang sudah tidak bisa terkejar oleh kemampuan sebagian manusia. Hal ini tentu saja menjadi sebuah ironi karena yang menjadi Wali Allah SWT dalam memotori perkembangan IPTEK itu adalah manusia juga. Kita bisa melihat betapa sekarang ini begitu banyak manusia yang tidak mampu memanfaatkan teknologi yang ada, bahkan cenderung menjadi korban dari teknologi. Begitu banyak orang yang karena gagap teknologi, akhirnya tersingkir dari dunia kerja yang memang semakin hari semakin tergantung pada produk IPTEK. Walaupun memang ironis, hal tersebut sangatlah wajar mengingat kemampuan manusia untuk meningkatkan kemampuan penguasaan IPTEK-nya memang relatif tidak ada yang sama.
Sebagai respon dari perkembangan teknologi khususnya pada sektor pendidikan, maka Departemen Pendidikan Nasional kemudian merekomendasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk diujicobakan di sekolah-sekolah. Pusat Kurikulum (dalam Sukestiyarno, 2003 : 1) menyatakan bahwa dengan kurikulum tersebut, diharapkan dapat memproduksi sumber daya yang handal dan mampu berkompetisi secara global, serta memiliki keterampilan yang tinggi yang melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif, dan kemauan bekerjasama yang efektif. Dan, tidak dapat dipungkiri bahwa proses berpikir seperti itu, merupakan sebagian dari banyak hal yang dapat diperoleh jika konsep matematika dipahami dengan benar.
Akan tetapi, banyaknya manfaat matematika terhadap berbagai sendi-sendi kehidupan, ternyata tidak sepenuhnya disadari oleh sebagian besar orang. Hal ini tidaklah mengherankan, karena memang apa yang disajikan di sekolah sebagai menu matematika adalah deretan angka-angka dan rumus yang membuat pusing karena tanpa disertai penjelasan yang cukup tentang resep pembuatannya dan khasiat yang bisa diperoleh ketika menu matematika itu kemudian dikomsumsi. Sehingga, matematika senantiasa menjadi pelajaran yang sulit dan membosankan serta dipelajari tanpa makna apa-apa. Sebagian siswa bahkan beranggapan bahwa belajar matematika tidak lebih dari sekedar mengingat dan kemudian melupakan fakta-fakta atau prosedur (Fauzan, 2003 : 1).
Harus diakui bahwa matematika memang dipenuhi oleh konsep deduktif dan memiliki tingkat keabstrakan yang relatif tinggi. Sehingga, ketika tuntutan perkembangan pendidikan yang semakin bergeser dari paradigma mengajar yang berpusat pada guru ke paradigma belajar berpusat pada siswa, matematika yang deduktif dan abstrak menjadi sangat sulit untuk dipahami oleh siswa. Oleh karena itu, pembelajaran matematika dengan penalaran induktif dan dekat dengan konteks kehidupan keseharian siswa sangat dibutuhkan untuk mengantar siswa menuju dunia matematika yang abstrak dan dipenuhi oleh penalaran deduktif. Sukestiyarno (2003 : 3) menyatakan bahwa cara kerja dengan proses induktif-deduktif, digunakan dan sama-sama berperan penting dalam matematika. Dari cara kerja matematika tersebut, diharapkan akan membentuk sikap kritis, kreatif, jujur, dan komunikatif bagi siswa.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh siswa dalam proses memahami materi dan menyelesaikan masalah-masalah matematika adalah ketidakmampuan mereka membawa materi dan masalah matematika ke dalam konteks kehidupan kesehariannya. Menurut Soedjadi (dalam Suharta, 2003 : 40) mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pelajaran matematika di kelas penting dilakukan agar pembelajaran lebih bermakna. Senada dengan hal tersebut, Van De Henvel (dalam Suharta, 2003 : 1) menyatakan bahwa bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari, maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika.
Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan konteks keseharian siswa, dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa, proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami. Jadi, bukan sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Kemampuan problem solving seseorang sangat tergantung pada pengetahuan yang dimiliki. Seseorang dengan tingkat pengetahuan yang tinggi akan lebih mudah dalam menyelesaikan setiap masalah yang sedang dihadapi. Dan untuk mendapatkan pengetahuan yang tinggi tentu saja sangat berkaitan dengan proses belajar yang dijalani. Begitupun halnya dengan kemampuan problem solving matematika siswa. Proses pembelajaran matematika yang dijalaninya akan sangat berpengaruh pada tingkat kemampuannya menyelesaikan masalah matematika yang sedang dihadapi. Marpaung (2003 : 3) menyatakan bahwa belajar matematika menuntut keaktifan pembelajar untuk berpikir, yaitu kerja sama mental, fisik, dan perasaan dalam menangkap, mengolah, menyimpan, mengambil kembali, mentransformasi informasi ke dalam suatu struktur baru (pengetahuan) dan menggunakan pengetahuan baru tersebut.
Masalah rendahnya kemampuan Problem Solving matematika siswa adalah masalah yang dialami oleh sebagian besar sekolah. Masalah ini pun pernah dialami sendiri oleh penulis ketika masih menjadi staf pengajar di SMP YAPMAN Sorowako. Siswa sudah sangat terbiasa menyelesaikan soal yang dihadapi tanpa memperhatikan langkah-langkah yang seharusnya dilewati. Siswa lebih terfokus pada jawaban akhir (hasil) dari soal yang dihadapi daripada proses mendapatkan hasil tersebut.
Di SMP Negeri 1 Makassar, masalah yang sama juga muncul. Sebagai contoh, perhatikan hasil pekerjaan siswa berikut.
Gambar 1. 1 Hasil Pekerjaan Siswa
Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa siswa yang akan menjadi subyek penelitian ini, diketahui bahwa jawaban (untuk soal nomor 7 sampai 10) seperti di atas adalah benar menurut mereka karena hasilnya sudah benar dan belum pernah ada yang mengatakan bahwa jawaban itu ternyata salah. Dibawah ini adalah contoh lain dari cara siswa menyelesaikan masalah matematika.
Gambar 1. 2 Hasil Pekerjaan Siswa
Gambar 1. 3 Hasil Pekerjaan Siswa
Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa siswa dan hasil pengamatan penulis secara langsung dalam kelas, maka dapat disimpulkan bahwa orientasi pada jawaban akhir ini kemungkinan disebabkan karena siswa tidak memahami manfaat yang akan diperoleh jika mereka menyelesaikan suatu masalah matematika dengan langkah-langkah yang jelas. Jika mereka diperlihatkan cara menjawab dengan langkah-langkah yang jelas, mereka menganggap itu terlalu panjang dan membuang waktu karena dengan menjawab seperti pada contoh di atas pun sudah mendapatkan nilai yang bagus.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis kemudian tertarik untuk meneliti sejauh mana penerapan pendekatan kontekstual mampu meningkatkan kemampuan problem solving matematika siswa melalui sebuah judul penelitian yakni : “Meningkatkan Kemampuan Problem Solving Matematika Siswa Melalui Pendekatan Kontekstual”.
Bab 1-5 > Ok lengkap....
Bagi yang ingin pesan silahkan isi form pendaftaran/donasi.
Seiring berputarnya waktu, perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) semakin pesat. Perkembangan IPTEK yang demikian pesat itu, terkadang sudah tidak bisa terkejar oleh kemampuan sebagian manusia. Hal ini tentu saja menjadi sebuah ironi karena yang menjadi Wali Allah SWT dalam memotori perkembangan IPTEK itu adalah manusia juga. Kita bisa melihat betapa sekarang ini begitu banyak manusia yang tidak mampu memanfaatkan teknologi yang ada, bahkan cenderung menjadi korban dari teknologi. Begitu banyak orang yang karena gagap teknologi, akhirnya tersingkir dari dunia kerja yang memang semakin hari semakin tergantung pada produk IPTEK. Walaupun memang ironis, hal tersebut sangatlah wajar mengingat kemampuan manusia untuk meningkatkan kemampuan penguasaan IPTEK-nya memang relatif tidak ada yang sama.
Sebagai respon dari perkembangan teknologi khususnya pada sektor pendidikan, maka Departemen Pendidikan Nasional kemudian merekomendasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi untuk diujicobakan di sekolah-sekolah. Pusat Kurikulum (dalam Sukestiyarno, 2003 : 1) menyatakan bahwa dengan kurikulum tersebut, diharapkan dapat memproduksi sumber daya yang handal dan mampu berkompetisi secara global, serta memiliki keterampilan yang tinggi yang melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif, dan kemauan bekerjasama yang efektif. Dan, tidak dapat dipungkiri bahwa proses berpikir seperti itu, merupakan sebagian dari banyak hal yang dapat diperoleh jika konsep matematika dipahami dengan benar.
Akan tetapi, banyaknya manfaat matematika terhadap berbagai sendi-sendi kehidupan, ternyata tidak sepenuhnya disadari oleh sebagian besar orang. Hal ini tidaklah mengherankan, karena memang apa yang disajikan di sekolah sebagai menu matematika adalah deretan angka-angka dan rumus yang membuat pusing karena tanpa disertai penjelasan yang cukup tentang resep pembuatannya dan khasiat yang bisa diperoleh ketika menu matematika itu kemudian dikomsumsi. Sehingga, matematika senantiasa menjadi pelajaran yang sulit dan membosankan serta dipelajari tanpa makna apa-apa. Sebagian siswa bahkan beranggapan bahwa belajar matematika tidak lebih dari sekedar mengingat dan kemudian melupakan fakta-fakta atau prosedur (Fauzan, 2003 : 1).
Harus diakui bahwa matematika memang dipenuhi oleh konsep deduktif dan memiliki tingkat keabstrakan yang relatif tinggi. Sehingga, ketika tuntutan perkembangan pendidikan yang semakin bergeser dari paradigma mengajar yang berpusat pada guru ke paradigma belajar berpusat pada siswa, matematika yang deduktif dan abstrak menjadi sangat sulit untuk dipahami oleh siswa. Oleh karena itu, pembelajaran matematika dengan penalaran induktif dan dekat dengan konteks kehidupan keseharian siswa sangat dibutuhkan untuk mengantar siswa menuju dunia matematika yang abstrak dan dipenuhi oleh penalaran deduktif. Sukestiyarno (2003 : 3) menyatakan bahwa cara kerja dengan proses induktif-deduktif, digunakan dan sama-sama berperan penting dalam matematika. Dari cara kerja matematika tersebut, diharapkan akan membentuk sikap kritis, kreatif, jujur, dan komunikatif bagi siswa.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh siswa dalam proses memahami materi dan menyelesaikan masalah-masalah matematika adalah ketidakmampuan mereka membawa materi dan masalah matematika ke dalam konteks kehidupan kesehariannya. Menurut Soedjadi (dalam Suharta, 2003 : 40) mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pelajaran matematika di kelas penting dilakukan agar pembelajaran lebih bermakna. Senada dengan hal tersebut, Van De Henvel (dalam Suharta, 2003 : 1) menyatakan bahwa bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari, maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika.
Pendekatan kontekstual merupakan pendekatan pembelajaran yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkan dengan konteks keseharian siswa, dan mendorong siswa untuk membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa, proses pembelajaran berlangsung lebih alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami. Jadi, bukan sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Kemampuan problem solving seseorang sangat tergantung pada pengetahuan yang dimiliki. Seseorang dengan tingkat pengetahuan yang tinggi akan lebih mudah dalam menyelesaikan setiap masalah yang sedang dihadapi. Dan untuk mendapatkan pengetahuan yang tinggi tentu saja sangat berkaitan dengan proses belajar yang dijalani. Begitupun halnya dengan kemampuan problem solving matematika siswa. Proses pembelajaran matematika yang dijalaninya akan sangat berpengaruh pada tingkat kemampuannya menyelesaikan masalah matematika yang sedang dihadapi. Marpaung (2003 : 3) menyatakan bahwa belajar matematika menuntut keaktifan pembelajar untuk berpikir, yaitu kerja sama mental, fisik, dan perasaan dalam menangkap, mengolah, menyimpan, mengambil kembali, mentransformasi informasi ke dalam suatu struktur baru (pengetahuan) dan menggunakan pengetahuan baru tersebut.
Masalah rendahnya kemampuan Problem Solving matematika siswa adalah masalah yang dialami oleh sebagian besar sekolah. Masalah ini pun pernah dialami sendiri oleh penulis ketika masih menjadi staf pengajar di SMP YAPMAN Sorowako. Siswa sudah sangat terbiasa menyelesaikan soal yang dihadapi tanpa memperhatikan langkah-langkah yang seharusnya dilewati. Siswa lebih terfokus pada jawaban akhir (hasil) dari soal yang dihadapi daripada proses mendapatkan hasil tersebut.
Di SMP Negeri 1 Makassar, masalah yang sama juga muncul. Sebagai contoh, perhatikan hasil pekerjaan siswa berikut.
Gambar 1. 1 Hasil Pekerjaan Siswa
Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa siswa yang akan menjadi subyek penelitian ini, diketahui bahwa jawaban (untuk soal nomor 7 sampai 10) seperti di atas adalah benar menurut mereka karena hasilnya sudah benar dan belum pernah ada yang mengatakan bahwa jawaban itu ternyata salah. Dibawah ini adalah contoh lain dari cara siswa menyelesaikan masalah matematika.
Gambar 1. 2 Hasil Pekerjaan Siswa
Gambar 1. 3 Hasil Pekerjaan Siswa
Berdasarkan wawancara penulis dengan beberapa siswa dan hasil pengamatan penulis secara langsung dalam kelas, maka dapat disimpulkan bahwa orientasi pada jawaban akhir ini kemungkinan disebabkan karena siswa tidak memahami manfaat yang akan diperoleh jika mereka menyelesaikan suatu masalah matematika dengan langkah-langkah yang jelas. Jika mereka diperlihatkan cara menjawab dengan langkah-langkah yang jelas, mereka menganggap itu terlalu panjang dan membuang waktu karena dengan menjawab seperti pada contoh di atas pun sudah mendapatkan nilai yang bagus.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis kemudian tertarik untuk meneliti sejauh mana penerapan pendekatan kontekstual mampu meningkatkan kemampuan problem solving matematika siswa melalui sebuah judul penelitian yakni : “Meningkatkan Kemampuan Problem Solving Matematika Siswa Melalui Pendekatan Kontekstual”.
0 comments:
Post a Comment